BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Para
pemikir Islam abad XX, khususnya setelah Seminar Internasional Pendidikan Islam
di Makkah pada tahun 1977, mengklasifikasikan ilmu menjadi dua kategori
1. Ilmu abadi (perennial knowledge) yang berdasarkan
wahyu. Ilahi yang tertera dalam Al-Qur’an dan Hadist serta segala yang dapat
diambil dari keduanya hanya diberikan kepada manusia.
2. Ilmu yang dicari (acquired knowledge) termasuk
sains kealaman dan terapannya yang dapat berkembang kualitatif dan penggandaan,
selama tidak bertentangan dengan Syari‟ah sebagai sumber nilai.
Dalam
konsep Islam (Timur), semua yang dipikirkan,. dikehendaki, dirasakan dan
diyakini, rnembawa manusia kepada pengetahuan dan secara sadar menyusunnya ke
dalam sistem yang disebut Ilmu. Tetapi berbeda dengan konsep Barat, yang
mengelompokkan ilmu itu kepada tiga; (1) Sciences (ilmu-ilmu kealaman, murni,
biologi, fisika, kimia dam lainnya, (2) Social Sciences (ilmu-ilmu
kemasyarakatan yang menyangkut perilaku manusia dalam interaksinya dalam masyarakat,
dan (3) The Humanities (humaniora), ialah ilmu-ilmu kemanusiaan yang menyangkut
kesadaran akan perasaan kepribadian dan nilai-nilai yang menyertainya sebagai
manusia.
Para
ilmuan dewasa ini, baik ahli sejarah atau filsafat sains mengakui, bahwa sejumlah
gejala yang dipilih untuk dikaji oleh ilmuan adalah alam materi. Ilmu
pengetahuan ke-alam-an ini, menurut A. Mattulada, yang utama menghasilkan
peralatan-peralatan kehidupan manusia yang disebut teknologi.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Ilmu Kimia
Kimia merupakan salah
satu dari sekian banyak ilmu pengetahuan yang muncul sejak munculnya pemikiran
ilmuan secara ilmiah, Kimia (dari bahasa Arab: كيمياء, atau kimiya = perubahan benda/zat
atau bahasa Yunani:
χημεία, atau khemeia) adalah ilmu yang mempelajari mengenai komposisi, struktur, dan
sifat zat atau materi dari skala atom hingga molekul serta perubahan atau transformasi serta interaksi
mereka untuk membentuk materi yang ditemukan sehari-hari. Kimia juga
mempelajari pemahaman sifat dan interaksi atom individu dengan tujuan untuk
menerapkan pengetahuan tersebut pada tingkat makroskopik. Menurut kimia
modern, sifat fisik
materi umumnya ditentukan oleh struktur pada tingkat atom yang pada gilirannya
ditentukan oleh gaya
antaratom dan ikatan kimia.
Di dalam Al-Qur’an
terdapat kandungan yang merujuk pada fenomena-fenomena alamiah yang dapat
dijumpai manusia dalam kehidupan sehari-hari. Ayat-ayat ini juga telah menarik
perhatian manusia secara tidak langsung untuk mempelajari berbagai elemen dan
reaksi kimiawi yang ada di dalamnya, di antaranya yaitu ayat-ayat yang
berhubungan dengan kejadian manusia, kejadian alam yang lain :
Proses penciptaan
manusia dan tindak balas yang berlaku dari bahan yang terlibat semasa
penciptaanya
“Dan sesungguhnya
kami Telah menciptakan manusia (Adam) dari tanah liat kering (yang berasal)
dari lumpur hitam yang diberi bentuk.”
[Al-Hijr:26]
“Dan Allah
menciptakan kamu dari tanah Kemudian dari air mani, Kemudian dia menjadikan
kamu berpasangan (laki-laki dan perempuan). dan tidak ada seorang perempuanpun
mengandung dan tidak (pula) melahirkan melainkan dengan sepengetahuan-Nya. dan
sekali-kali tidak dipanjangkan umur seorang yang berumur panjang dan tidak pula
dikurangi umurnya, melainkan (sudah ditetapkan) dalam Kitab (Lauh mahfuzh).
Sesungguhnya yang demikian itu bagi Allah adalah mudah.”[Faathir:11]
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan kamu dari tanah, Kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak.”[Ar-Ruum:20]
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah dia menciptakan kamu dari tanah, Kemudian tiba-tiba kamu (menjadi) manusia yang berkembang biak.”[Ar-Ruum:20]
Unsur kimia di dalam
madu petunjuk kepada kekuasaan Allah merubah struktur, sifat dan kegunaan
berbagai unsur.
“Dan Tuhanmu
mewahyukan kepada lebah: “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon
kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia”, Kemudian makanlah dari
tiap-tiap (macam) buah-buahan dan tempuhlah jalan Tuhanmu yang Telah dimudahkan
(bagimu). dari perut lebah itu ke luar minuman (madu) yang bermacam-macam
warnanya, di dalamnya terdapat obat yang menyembuhkan bagi manusia.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda (kebesaran
Tuhan) bagi orang-orang yang memikirkan.”[An-Nahl:68-69]
Al Qur’an menjelaskan
tentang unsur Besi (QS. Al-Hadid, 57:52)
Sesungguhnya Kami
telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah
Kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia
dapat melaksanakan keadilan. Dan Kami ciptakan/turunkan besi yang padanya
terdapat kekuatan yang hebat dan berbagai manfaat bagi manusia (supaya mereka
mempergunakan besi itu), dan supaya Allah mengetahui siapa yang menolong
(agama)-Nya dan rasul-rasul-Nya padahal Allah tidak dilihatnya. Sesungguhnya
Allah Mahakuat lagi Maha Perkasa.” (al-Hadid 57: 25).
Berdasarkan kandungan surah
Al-Hadid di atas, para ilmuan muslim telah mengkaji kandungan yang terkandung
di dalam nya yang menyatakan bahwa Allah telah menurunkan/menciptakan unsur
besi yang dapat di manfaat kan oleh manusia.
Perkembangan Ilmu Kimia dalam
Perspektif Islam
Ilmu
kimia merupakan sumbangan penting yang telah diwariskan para kimiawan Muslim di
abad keemasan bagi peradaban modern. Para ilmuwan dan sejarah Barat pun
mengakui bahwa dasar-dasar ilmu kimia modern diletakkan para kimiawan Muslim.
Tak heran, bila dunia menabalkan kimiawan Muslim bernama Jabir Ibnu Hayyan
sebagai 'Bapak Kimia Modern'."Para kimiawan Muslim adalah pendiri ilmu
kimia," cetus Ilmuwan berkebangsaan Jerman di abad ke-18 M. Tanpa tedeng
aling-aling, Will Durant dalam The Story of Civilization IV: The Age of Faith,
juga mengakui bahwa para kimiawan Muslim di zaman kekhalifahanlah yang
meletakkan fondasi ilmu kimia modern.
Menurut
Durant, kimia merupakan ilmu yang hampir seluruhnya diciptakan oleh peradaban
Islam. "Dalam bidang ini (kimia), peradaban Yunani (seperti kita ketahui)
hanya sebatas melahirkan hipotesis yang samar-samar," ungkapnya.
Sedangkan,
peradaban Islam, papar dia, telah memperkenalkan observasi yang tepat,
eksperimen yang terkontrol, serta catatan atau dokumen yang begitu teliti. Tak
hanya itu, sejarah mencatat bahwa peradaban Islam di era kejayaan telah
melakukan revolusi dalam bidang kimia.
Kimiawan
Muslim telah mengubah teori-teori ilmu kimia menjadi sebuah industri yang
penting bagi peradaban dunia. Dengan memanfaatkan ilmu kimia, Ilmuwan Islam di
zaman kegemilangan telah berhasil menghasilkan sederet produk dan penemuan yang
sangat dirasakan manfaatnya hingga kini.
Berkat revolusi sains yang digelorakan para kimiawan
Muslim-lah, dunia mengenal berbagai industri serta zat dan senyawa kimia penting.
Adalah fakta tak terbantahkan bahwa alkohol, nitrat, asam sulfur, nitrat
silver, dan potasium--senyawa penting dalam kehidupan manusia modern--merupakan
penemuan para kimiawan Muslim. Revolusi ilmu kimia yang dilakukan para kimiawan
Muslim di abad kejayaan juga telah melahirkan teknik-teknik sublimasi,
kristalisasi, dan distilasi. Dengan menguasai teknik-teknik itulah, peradaban
Islam akhirnya mampu membidani kelahiran sederet industri penting bagi umat
manusia, seperti industri farmasi, tekstil, perminyakan, kesehatan, makanan dan
minuman, perhiasan, hingga militer.
B. Ilmu Kimia sebagai Cabang Ilmu Teoritis
Kimia
sering disebut sebagai "ilmu pusat" karena menghubungkan berbagai
ilmu lain, seperti fisika, ilmu bahan, nanoteknologi, biologi, farmasi, kedokteran, bioinformatika, dan geologi. Koneksi ini timbul melalui berbagai subdisiplin yang
memanfaatkan konsep-konsep dari berbagai disiplin ilmu. Sebagai contoh, kimia fisik melibatkan penerapan prinsip-prinsip fisika terhadap materi pada tingkat atom dan molekul.
Kimia
berhubungan dengan interaksi materi yang dapat melibatkan dua zat atau antara
materi dan energi, terutama dalam hubungannya dengan hukum pertama termodinamika. Kimia tradisional melibatkan interaksi antara zat kimia dalam reaksi kimia, yang mengubah satu atau lebih zat menjadi satu atau
lebih zat lain. Kadang reaksi ini digerakkan oleh pertimbangan entalpi, seperti ketika dua zat berentalpi tinggi seperti
hidrogen dan oksigen elemental bereaksi membentuk air, zat dengan entalpi lebih
rendah. Reaksi kimia dapat difasilitasi dengan suatu katalis, yang umumnya merupakan zat kimia lain yang terlibat
dalam media reaksi tapi tidak dikonsumsi (contohnya adalah asam sulfat yang mengkatalisasi elektrolisis air) atau fenomena immaterial (seperti radiasi elektromagnet dalam reaksi fotokimia). Kimia tradisional juga menangani analisis zat kimia, baik di dalam maupun di luar suatu reaksi,
seperti dalam spektroskopi
C. Perkembangan Ilmu Kimia di Dunia Islam Dulu
Dunia islam sangat maju sebelum
terjadi perang salib, mulai dari ilmu kedokteran, kimia, biologi, sosial, ilmu
perbintangan/astronomi, aljabar, science, filsafat dan lain-lain semua ada di perpustakaan baghdad irak. Dimana selama masa perang salib, banyak buku-buku islam
yang diambil, dan dibawa oleh pasukan salib dan sebagian lain dibakar oleh
pasukan salib. karena pada saat terjadi serangan pasukan salibis, buku-buku di
perpustakaan Baghdad dibakar dan dibuang ke sungai tigris. Jadi hampir semua
teknologi dan science yang ada di tangan orang-orang barat berasal dari
kebudayaan Islam.
Kimia yang menjadi cikal bakal ilmu kimia modern seperti yang telah
dinikmati pada saat ini, sesungguhnya pernah melewati tahapan di mana
teori-teori klasik yang dihasilkan berasal dari olahan dan hasil karya ilmuwan
muslim abad ke-12 yang lampau. Kimia di tangan ilmuwan muslim mengalami
lonjakan kemajuan besar karena terjadi perubahan paradigma dalam mengemas
sebuah ilmu pengetahuan dengan menggunakan tahapan verifikasi melalui sebuah
eksperimen. Hasil-hasil temuan para ilmuwan muslim ini pun masih dirasakan
manfaatnya hingga sekarang. Perpindahan kimia Islam ke Eropa menjadi titik
balik kemunduran kimia dan sains-sains Islam pada umumnya yang sebelumnya
menjadi lokomotif kemajuan ilmu pengetahuan di seluruh penjuru dunia. Bersamaan
dengan itu, kimia secara perlahan mulai ditinggalkan oleh ilmuwan masyarakat
yang mulai beralih kepada ilmu kimia modern karena memiliki kerangka kerja yang lebih handal dan teliti dalam kajian kealaman.
Beberapa ilmuan muslim mengejar ketinggalan kemajuan ilmu kimia modern
melalui riset-riset yang terus dikembangkan seperti yang kerap dilakukan pada
lembaga-lembaga akademik. Semangat dan kinerja yang ditunjukkan ilmuwan muslim
serta hasil dari kegiatan ilmiah tersebut dapat dianggap sebagai modal dan aset
untuk kemajuan ilmu kimia yang lebih baik serta pemanfaatan yang lebih meluas
dalam kehidupan masyarakat khususnya masyarakat muslim. Problem terbesar
tersendatnya kemajuan ilmu kimia didunia muslim terletak pada dukungan yang
kongkret dari semua pihak. Diantara yang mutlak diperlukan adalah dukungan
moril baik dari instansi pemerintah, institusi agama dan masyarakat, serta
dukungan materil berupa kucuran dana yang signifikan.
Demikianlah, perkembangan ilmu kimia di dunia muslim diawali kira-kira
sejak satu abad setelah hadirnya peradaban Islam, kemudian berkembang hingga
masa sekarang. Ilmu kimia modern berhutang banyak pada kimia Islam lebih dari
seperangkat metode, tetapi juga produk-produk kimiawi yang manfaatnya dirasakan
hingga masa sekarang. Ilmuwan muslim secara perlahan tetapi pasti telah
berupaya mengejar ketertinggalannya. Dengan kuantitas dan kualitas yang
dihasilkan di ilmuwan kimia muslim, cukuplah kompetitif untuk diharapkan dengan
apa yang telah dihasilkan di Barat.
D.
Penemuan dan Kontribusi Kimiawan Muslim
Setiap
kimiawan Muslim itu telah memberi sumbangan yang berbeda-beda bagi pengembangan
ilmu kimia. Jabir (721 M-815 M), misalnya, telah memperkenalkan eksperimen atau
percobaan kimia. Ia bekerja keras mengelaborasi kimia di sebuah laboratorium
dengan serangkaian eksperimen. Salah satu ciri khas eksperimen yang
dilakukannya bersifat kuantitatif. Ilmuwan Muslim berjuluk 'Bapak Kimia Modern'
itu juga tercatat sebagai penemu sederet proses kimia, seperti
penyulingan/distilasi, kristalisasi, kalnasi, dan sublimasi.
Cendekiawan-cendikiawan Barat mengakui bahwa Jabir
Ibnu Hayyan (721-815 H.) adalah orang yang pertama yang menggunakan metode
ilmiah dalam kegiatan penelitiannya dalam bidang alkemi yang kemudian oleh
ilmuan Barat diambil dan dikembangkan menjadi apa yang dikenal sekarang sebagai
ilmu kimia. Jabir, di Barat dikenal Geber, adalah orang yang pertama mendirikan
suatu bengkel dan mempergunakan tungku untuk mengolah mineral-mineral dan
mengekstraksi dan mineral-mineral itu zat-zat kimiawi serta mengklasifikasikannya.
Muhammad Ibnu Zakaria, al-Rozi (865-925), telah
melakukan kegiatan yang lazim dilakukan oleh ahli kimia dengan menggunakan
alat-alat khusus, seperti distilasi, kristalisasi, dan sebagainya. Buku al-Razi
(Razes), diakui sebagai buku pegangan laboratorium kimia pertama di dunia.
Sang ilmuwan yang dikenal di Barat dengan sebutan
'Geber' itu pun tercatat berhasil menciptakan instrumen pemotong, pelebur, dan
pengkristal. Selain itu, dia pun mampu menyempurnakan proses dasar sublimasi,
penguapan, pencairan, kristalisasi, pembuatan kapur, penyulingan, pencelupan,
dan pemurnian. Berkat jasanya pula, teori
oksidasi-reduksi yang begitu terkenal dalam ilmu kimia terungkap. Senyawa atau
zat penting seperti asam klorida, asam nitrat, asam sitrat, dan asam asetat
lahir dari hasil penelitian dan pemikiran Jabir. Ia pun sukses melakukan
distilasi alkohol. Salah satu pencapaian penting lainnya dalam merevolusi kimia
adalah mendirikan industri parfum.
Muhammad Ibn Zakariya ar-Razi Ilmuwan Muslim lainnya
yang berjasa melakukan revolusi dalam ilmu kimia adalah Al-Razi (lahir 866 M).
Dalam karyanya berjudul, Secret of Secret, Al-Razi mampu membuat klasifikasi
zat alam yang sangat bermanfaat. Ia membagi zat yang ada di alam menjadi tiga,
yakni zat keduniawian, tumbuhan, dan zat binatang. Soda serta oksida timah
merupakan hasil kreasinya. Al-Razi pun tercatat mampu
membangun dan mengembangkan laboratorium kimia bernuansa modern. Ia menggunakan
lebih dari 20 peralatan laboratorium pada saat itu. Dia juga menjelaskan
eksperimen-eksperimen yang dilakukannya. "Al-Razi merupakan ilmuwan
pelopor yang menciptakan laboratorium modern," ungkap Anawati dan Hill.
Bahkan, peralatan laboratorium yang digunakannya pada
zaman itu masih tetap dipakai hingga sekarang. "Kontribusi yang diberikan
Al-Razi dalam ilmu kimia sungguh luar biasa penting," cetus Erick John
Holmyard (1990) dalam bukunya, Alchemy. Berkat Al-Razi pula industri
farmakologi muncul di dunia.
Sosok kimiawan Muslim lainnya yang tak kalah populer
adalah Al-Majriti (950 M-1007 M). Ilmuwan Muslim asal Madrid, Spanyol, ini
berhasil menulis buku kimia bertajuk, Rutbat Al-Hakim. Dalam kitab itu, dia
memaparkan rumus dan tata cara pemurnian logam mulia.
Sejarah peradaban Islam pun merekam kontribusi
Al-Biruni (wafat 1051 M) dalam bidang kimia dan farmakologi. Dalam Kitab
Al-Saydalah (Kitab Obat-obatan), dia menjelaskan secara detail pengetahuan
tentang obat-obatan. Selain itu, ia juga menegaskan pentingnya peran farmasi
dan fungsinya. Begitulah, para kimiawan Muslim di era kekhalifahan berperan
melakukan revolusi dalam ilmu kimia.
E. Hubungan Kimia dengan Perbaikan Akhlak/Moral
Kimia tidak memiliki nilai kehidupan, tetapi dengan mempelajari kimia
peserta didik dapat mengambil manfaatnya berupa nilai-nilai kehidupan. Proses
kimia diperoleh dengan metode ilmiah, yang di dalamnya terdapat kerja ilmiah.
Kerja ilmiah terdiri atas langkah-langkah: (1) merumuskan masalah, (2)
mengumpulkan keterangan, (3) membuat hipotesis, (4) melakukan eksperimen (mencatat data, mengolah data,menganalisis
data), (5) menarik kesimpulan, (6) menguji kembali kesimpulan dengan
eksperimen, dan (7) melaporkan hasil.
Dalam kerja ilmiah peserta didik wajib
memiliki sikap ilmiah yang meliputi:
a. Jujur, yaitu mengajukan data sebenarnya dari
hasil penelitian tanpa mengubahnya, walaupun tidak sesuai dengan hipotesis dan
teori,
b. Terbuka, yaitu dapat menerima perbedaan hasil
yang diperoleh teman lain atau ilmuwan lain dan teori baru dari eksperimen terbaru,
c. Mampu membedakan fakta dan opini,
d. Tekun dan ulet dalam melakukan penelitian
serta tidak mudah putus asa,
e. Teliti, cermat, dan akurat tidak ceroboh dan
tidak melakukan kesalahan dalam pene-litian , sehingga didapatkan hasil yang
benar-benar akurat,
f. Tidak mudah percaya jika tidak ada bukti yang mendukung,
g. Percaya bahwa kebenaran itu bersifat relaif,
sehingga tidak memaksakan diri
Sikap ilmiah dalam pembelajaran kimia
merupakan bagian dari sikap pada umum-nya, dan sikap adalah bagian dari nilai,
yaitu nilai kehidupan. Bila penanaman nilai kehidupan dalam pembelajaran kimia
terjadi berulang-ulang, maka diharapkan nilai-nilai tersebut dapat
terinternalisasi dalam diri peserta didik. Dengan kata lain, dalam setiap
pembelajaran mata pelajaran apapun, termasuk pembelajaran kimia, sangat
diha-rapkan bahwa materi yang diajarkan tidak hanya sebagai school knowledge (pengetahuan sekolah),
tetapi juga menjadi inner knowledge
(pengetahuan dalam diri) yang akhirnya ditunjukkan dalam bentuk perilaku (action knowledge). Dengan demikian
terjadilah keselarasan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik dalam proses
pembelajaran. Sejumlah sikap ilmiah tersebut dapat menjadi nilai kehidupan
peserta didik dimana nilai-nilai kehidupan secara bersama-sama akan membentuk
kepribadian peserta didik.
Nilai afektif yang diinginkan ditanamkan guru
sains/kimia kepada peserta didiknya bukanlah sekedar niai-nilai yang berkaitan
dengan sikap, konsep diri, motivasi dan minat, tetapi nilai-nilai afektif yang
langsung berkaitan dengan materi ajar sains/kimia itu sendiri. Guru sains/kimia
harus mengajarkan materi sains/kimia pada peserta didik sedemikian rupa
sehingga peserta didik memiliki kemampuan transfer
of knowledge dan transfer of value.
Ada 4 (empat) istilah yang memiliki kemiripan
arti, yaitu nilai, norma, etika, dan moral. Nilai diartikan sebagai sifat-sifat
atau hal-hal penting/berguna bagi kemanusiaan (KBI, 1990) atau sesuatu yang
berharga bagi kehidupan manusia (Vembriarto, 1982). Nilai bersifat abstrak,
hanya dapat dipikirkan, dipahami, dan dihayati.
Ada empat sumber nilai dan empat jenis nilai,
yaitu nilai yang bersumber dari:
1) ratio: jenis nilai benar-salah (nilai hukum);
2) kehendak: jenis nilai baik-buruk (nilai moral);
3) perasaan: jenis nilai indah-tidak indah (nilai estetika);
4) agama: jenis nilai religius-tidak religius (nilai agama);
Norma adalah
ukuran, garis pengarah, atau aturan kaidah bagi pertimbangan dan penilaian atau
aturan mengenai cara bertingkah laku dalam kehidupan manusia. Norma bersumber
dari nilai dan berisi perintah atau larangan.
Etika dan moral sering diartikan sama, namun
sebenarnya ada sedikit perbedaan antara keduanya. Etika (ilmu) mempunyai arti
lebih luas daripada moral (ajaran). Etika adalah ilmu yang mempelajari tentang
hal yang baik dan hal yang buruk (KBI, 1990). Moral adalah ajaran tentang
baik-buruk yang diterima umum mengenai tingkah laku atau perbuatan, sikap,
kewajiban, dsb; akhlak, budi pekerti, susila (KBI, 1990). Moral meng-acu pada
baik buruknya manusia sebagai manusia, bukan manusia sebagai pelaku peran
tertentu dan terbatas. Dapat terjadi seorang guru bermoral jujur, tetapi
berperilaku kurang baik dalam mengajar.
Etika dan moral bersumber pada norma, dan
norma bersumber pada nilai. Etika bersifat ilmiah (struktur kehidupan), sedang
moral bersifat aplikatif (bagaimana manusia harus hidup). Nilai-nilai yang dianut seseorang bersumber
pada kepribadian orang yang bersangkutan. Kejujuran adalah suatu nilai,
larangan menipu atau larangan berbohong adalah norma kejujuran, dan tidak
menipu atau tidak berbohong adalah moral kejujuran.
Istilah nilai sama dengan istilah karakter
atau tabiat. Nilai terdiri atas
sejumlah sikap dan sejumlah nilai
menyusun kepribadian seseorang. Nilai luhur artinya nilai yang sangat baik,
nilai luhur bangsa Indonesia adalah kumulasi nilai suku-suku bangsa Indonesia.
Nilai luhur suku bangsa Indonesia merupakan kumulasi dari nilai perorangan
penduduk Indonesia. Warga negara Indonesia memperoleh pendidikan nilai/karakter
melalui pendidikan, pemuka agama, pemuka adat, pemuka pemerintahan, dsb.
Pendidikan nilai/karakter di pendidikan dasar
dan menengah diperoleh dari semua mata pelajaran yang ada, proporsi terbesar didapat dari kelompok mata
pelajaran agama dan akhlak mulia serta kewarganegaraan. Pendidikan sains juga
menyumbang pendidikan nilai/karakter melalui pendidikan sikap ilmiah dan kerja
ilmiah yang merupakan bagian metode ilmiah. Pendidikan nilai/karakter yang saat
ini sedang digalakkan tidak berdiri sendiri sebagai mata pelajaran, tetapi
harus dipadukan dengan materi pendukung kompetensi dasar yang sesuai.
Pendidikan sains/kimia sudah menyediakan
“rumah” bagi pendidikan nilai/ karakter, yaitu pada dimensi sikap ilmiah dan
metode ilmiah yang di dalamnya terdapat kerja ilmiah. Aspek-aspek pendidikan
nilai/karakter dapat dipadukan dalam (1) materi pembelajaran, (2) kegiatan
pembelajaran, (3) indikator pencapaian kompetensi, dan (4) instrumen
penilaian.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Sikap ilmiah dalam pembelajaran kimia
merupakan bagian dari sikap pada umum-nya, dan sikap adalah bagian dari nilai,
yaitu nilai kehidupan. Bila penanaman nilai kehidupan dalam pembelajaran kimia
terjadi berulang-ulang, maka diharapkan nilai-nilai tersebut dapat
terinternalisasi dalam diri peserta didik. Dengan kata lain, dalam setiap
pembelajaran mata pelajaran apapun, termasuk pembelajaran kimia, sangat
diharapkan bahwa materi yang diajarkan tidak hanya sebagai school knowledge (pengetahuan sekolah), tetapi juga menjadi inner knowledge (pengetahuan dalam diri)
yang akhirnya ditunjukkan dalam bentuk perilaku (action knowledge). Dengan demikian terjadilah keselarasan aspek
kognitif, afektif, dan psikomotorik dalam proses pembelajaran. Sejumlah sikap
ilmiah tersebut dapat menjadi nilai kehidupan peserta didik dimana nilai-nilai
kehidupan secara bersama-sama akan membentuk kepribadian peserta didik.
DAFTAR PUSTAKA
Baiquni, A, Islam Dan Ilmu Pengetahuan Modern,
penerbit Pustaka, Jakarta, cet. I, 1983.
Arsyad M. Natsir, Ilmuan Muslim Sepanjang Sejarah,
Mizan, Bandung, cet. I, 1989.
Hilmi, Ahmad Kamal al-Din, al-Salajiqah
fi al-Tarikh Wa al-Hadharat, Dar al-Buhus al-Ilmiyah, Kuwait, 1975.
Hitti, Philip K., The Arabs A
Short History, diterjemahkan oleh Ushuluddin Hutagalung, Dunia Arab,
Sumur Bandung, Bandung, cet. III, t. th.
Mattulada, A, Ilmu-Ilmu Kemasyaiaan (Humaniora)
Tantangan, Harapan-harapan Dalam Pembangunan, UNHAS, 1991.
Madjid, Nurcholish, Reaktualisasi Nilai-Nilai
Kultural Dalam Proses Transformasi Masyarakat, Simposium nasional ICHI,
Malang, 6-8 Desember 1990.
Shihab, M. Quraish, Membumikan
Al-Quran, Mizan, Bandung, cet. II, 1992.